KOMPAS— Pemerintah resmi memberikan insentif fiskal di tengah perberlakukan kebijakan pajak baru untuk sektor otomotif pada 2025. Kendaraan listrik dan hybrid mendapat insentif berupa diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan dua skema. Namun kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen dan penerapan opsen pajak menimbulkan tantangan bagi industri yang melambat saat ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan diskon PPN untuk kendaraan listrik, hybrid, dan rumah dengan harga jual hingga Rp 5 miliar. “Dikenakan diskon skema untuk PPN ditanggung pemerintah sampai dengan bulan Juni, 100 persen diskonnya, dan untuk semester kedua diskonnya turun 50 persen,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, sekitar akhir 2024 lalu.
Presiden Prabowo Subianto juga menyampaikan bahwa tarif PPN akan naik menjadi 12 persen, efektif mulai 1 Januari 2025. “Kenaikan tarif ini merupakan amanah dari Undan-undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan,” katanya Prabowo.
“Kenaikan dilakukan secara bertahap, mulai dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, dan kini menjadi 12 persen pada Januari 2025. Tujuannya agar tidak memberikan dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.
Opsen Pajak
Selain kenaikan PPN, pemerintah juga memberlakukan opsen pajak kendaraan bermotor mulai 5 Januari 2025. Opsen pajak ini diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Opsen ini akan dikenakan hingga 66 persen dari nilai Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang diterima pemerintah provinsi. Kombinasi kebijakan perpajakan 2025 terkait diproyeksikan menimbulkan tantangan besar bagi industri otomotif nasional.
Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan mobil nasional sepanjang Januari-November 2024 mencapai 784.788 unit. Susut 135.730 unit dari periode yang sama pada 2023, yang mencapai 920.518 unit. Penurunan penjualan sebesar 14,745 persen ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya daya beli masyarakat menengah ke bawah yang menurun. Mencerminkan pelemahan pasar otomotif yang sudah terlihat sebelum kebijakan perpajakan baru diberlakukan.
GAIKINDO menilai penerapan opsen pajak akan memberikan banyak kendala bagi penjualan mobil baru. “Kebijakan ini harus disikapi bijak oleh pemerintah daerah, karena mereka yang lebih paham dan punya data untuk menerapkan opsen pajak,” kata Sekretaris Umum GAIKNDO Kukuh Kumara.
Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Sigit Kumala, menilai kebijakan perpajakan ini berpotensi menggerus penjualan motor nasional. “Dengan adanya perhitungan ini, kami harus melihat lagi seperti apa dampaknya,” kata dia.
AISI juga berharap adanya insentif tambahan untuk mengantisipasi dampak opsen pajak agar kenaikannya tidak mencapai empat hingga tujuh persen.
Tantangan lain juga datang dari faktor eksternal. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengungkapkan kekhawatiran atas dampak kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024 terhadap dunia usaha di Indonesia. APINDO menilai kemenangan Trump bisa memperkuat dollar AS terhadap rupiah, yang berpotensi menekan sektor bisnis di Tanah Air. “Melihat statement Bank Indonesia (BI), kalau Trump menang, akan terjadi penguatan dolar AS. Konsekuensinya, pemerintah harus memegang suku bunga agar tetap stabil,” kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO Bob Azam, yang juga Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Ia menambahkan, kenaikan suku bunga akan semakin membebani dunia usaha, yang ia gambarkan sebagai kondisi “tambah teler lagi.” Pernyataan Bob mencerminkan keprihatinan terhadap potensi kesulitan yang harus dihadapi pengusaha akibat kebijakan ekonomi yang akan berdampak langsung pada biaya operasional dan daya saing industri, khususnya otomotif. (*)