SURABAYA— Pembangunan ruas Tol Trans-Jawa berimbas pada peningkatan pertumbuhan mobil dan perekonomian daerah sehingga bisa memicu pertumbuhan kredit mobil sampai 10 persen pada 2019. Direktur Utama Mandiri Tunas Finance (MTF) Arya Suprihadi mengatakan, operasional sejumlah ruas jalan tol baru mendorong masyarakat untuk membeli kendaraan karena faktor kemudahan akses jalan.
“Oleh karena itu, kami optimistis dengan pertumbuhan pembiayaan kendaraan sebesar 10 persen tahun ini, apalagi menurut GAIKINDO 70 persen hingga 80 persen pembelian mobil menggunakan kredit,” kata Arya di sela kegiatan roadshow MTF di Surabaya, seperti dikutip Tempo Ahad 3 Maret 2019.
Arya mengatakan, optimisme itu dibarengi dengan penguatan kerja sama yang dilakukan MTF dengan berbagai pihak seperti Bank Mandiri, diler, showroom dan berbagai merek mobil. Oleh karena itu, selama roadshow tim MTF juga menyempatkan singgah ke kantor cabang Bank Mandiri dan beberapa agen penjualan mobil. “Kerja sama dengan mereka sekarang memang sudah terjalin, namun akan ditingkatkan supaya ada peningkatan market share dan penetrasi pasar yang lebih cepat,” katanya.
MTF juga bekerja sama dengan Bank Syariah Mandiri (BSM) untuk pembiayaan kendaraan dengan sistem syariah melalui produk BSM Oto. “Tahun 2017, penyaluran kredit mobil BSM Oto sebesar Rp 212 miliar dan 2018 naik mencapai Rp 1,4 triliun. Dan untuk 2019 diprediksi mencapai Rp 2 triliun.”
Pemerintah jangan Abaikan Jalan Pantura
Keberadaan jalan tol Trans Jawa diminta tak menjadikan jalan nasional yang posisinya sejajar dengan tol sebagai jalan sekunder. Kerusakan jalan yang sudah mulai nampak di Jalan Pantura diminta segera dibenahi dan tidak dibiarkan lama. Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang Ngargono mengatakan, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur. Termasuk memperbaiki jalan Pantura yang mulai berlubang. Ia khawatir pemerintah memang sengaja tak cepat-cepat memperbaiki jalan Pantura.
“Jangan-jangan memang dibiarkan agar (mobil) lewat tol,” kata Ngargono saat mengikuti diskusi soal jalan tol di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng), seperti dikutip Suara Merdeka beberapa waktu lalu.
Saat ini kondisi jalan tol Trans Jawa memang belum seramai yang diharapkan. Bahkan pemerintah berupaya menyesuaikan formula penentuan tarif jalan tol trans Jawa sehingga tarifnya di bawah Rp 1.000 per kilometer. Dengan harga yang lebih murah, diharapkan tak memberatkan masyarakat sebagai calon pengguna jalan tol. Ngargono menilai saat ini tarif tol Rp 1.000 per kilometer dirasa masih mahal bagi konsumen. “Masyarakat tak pernah berpikir tol itu milik siapa. Masyarakat tahunya harganya sama. Apa tidak bisa keluar konteks? Misalnya harga turun, siapa tahu pendapatan justru naik karena banyak yang memakai,” katanya.
Terlepas dari adanya anggapan mahalnya tarif tol Trans Jawa bagi sebagian orang, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) Jateng Bambang Widjanarko mengatakan kehadiran tol tepat bagi truk yang masuk golongan V. Lantaran sebagian jalan arteri saat ini tak memadai. “Tentang masih dianggap terlalu mahalnya tarif tol Trans Jawa oleh sebagian pengusaha truk yang tergabung dalam Aptrindo Jateng, saya kira hanya karena perasaan kaget diawal saja, yang biasanya dulu tidak pernah membayar untuk penggunaan fasilitas jalan, sekarang ada yang harus dibayar. Tapi semua itu kan pilihan,” kata Bambang.
Menurutnya jika pemerintah terlambat sedikit saja dalam membangun jalan tol Trans Jawa, maka hampir bisa dipastikan akan menimbulkan lebih banyak lagi persoalan dan kemacetan arus lalu lintas yang jauh lebih parah. Selain waktu tempuh yang lebih cepat daripada jalan arteri biasa, permukaan jalan tol yang lebih halus dan jarang berlubang tentunya akan banyak mengirit pembelanjaan suku cadang dan ban. Karena musuh utama dari ban adalah benturan dengan lubang di jalan. Ban juga akan lebih awet, jika jarang dipaksa untuk berulang kali melakukan stop and go (mengerem dan berakselerasi ) seperti di jalan tol. (*)