Economy & Industry

Penjualan Mobil dan Sepeda Motor masih Minus, Pasar Butuh Stimulus

BLOOMBERG— Penjualan mobil di Tanah Air masih melemah sejak tahun 2023 lalu. Meski penjualan naik pada Mei dibanding April (month-on-month) baik untuk kategori whole sales (penjualan dari pabrik ke dealer) maupun retail (dari dealer ke konsumen), secara tahunan kinerja penjualan mobil masih negatif alias terkontraksi hingga double digit.

Kinerja penjualan mobil yang masih lesu menggarisbawahi tren perlambatan konsumsi masyarakat terhadap barang -barang tahan lama (durable goods) sejak tahun lalu. Itu juga mencerminkan kelesuan investasi, tampak dari kecenderungan pemilik dealer mengurangi pembelian stok mobil untuk dijual lagi.

Di tengah tren ekspor yang sudah melewatkan puncak kenaikan, di mana pada Mei hanya tumbuh tak sampai 3 persen, konsumsi masyarakat yang kuat menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi karena sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) bisa lebih dari 50 persen. Pelonggaran moneter yang sulit diharapkan terjadi tahun ini, menuntut upaya lebih besar dari sisi fiskal untuk merangsang konsumsi masyarakat.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat, penjualan mobil whole sales pada Mei mencapai 71.263 unit, naik 46,5 persen dibanding April yang cuma 48.637 unit. Namun, dibanding Mei tahun lalu, turun 13,3 persen. 

Begitu juga penjualan mobil retail yang tumbuh 22,7 persen pada Mei dibanding April, mencapai 72.137 unit. Namun, membandingkan Mei tahun lalu, turun 12,6 persen.  Lebih jauh lagi melihat jenis mobil, untuk penjualan kendaraan komersial, pada Mei juga mencatat penurunan secara tahunan hampir 15 persen meski naik dibandingkan April yaitu dari 11.712 unit menjadi 16.259 unit.

Bukan hanya penjualan mobil yang seret dibanding tahun lalu. Laju penjualan sepeda motor juga lesu dibanding tahun lalu. Data yang dilansir oleh Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat, pada Mei penjualan sepeda motor mencapai 505.670 unit, naik 20,64 persen dibanding April.

Tapi secara tahunan penjualan sepeda motor turun 4,54 persen setelah pada April masih membukukan pertumbuhan positif 18,3 persen year-on-year. “Kinerja penjualan mobil Mei ada perlambatan investasi maupun konsumsi barang-barang tahan lama, durable goods, yang berlangsung sejak kuartal akhir tahun lalu,” kata Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi dalam catatannya, Rabu 19 Juni 2024.

Belanja konsumen di Indonesia sepertinya masih banyak terkuras untuk kebutuhan dasar seperti belanja dapur, akibat kenaikan harga barang dan jasa yang masih belum terjeda sejak sebelum Lebaran pada April lalu.

Mengacu pada hasil Survei Konsumen terakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia, Indeks Pembelian Barang Tahan Lama pada Mei memang turun 3,7 poin.  Penurunan terutama terjadi di semua kelompok pengeluaran, trutama kelompok menengah, pengeluaran Rp 3,1 juta – Rp 4 juta per bulan, di mana indeks turun sampai 9,1 poin pada Mei. Kelompok dengan pengeluaran Rp 4,1 juta – Rp 5 juta per bulan juga turun hingga 6,6 poin. Sementara kelompok terbawah dengan pengeluaran Rp 1 juta – Rp 2 juta turun 4,5 poin.

Sedangkan bila melihat laporan penjualan ritel terakhir, Indeks Penjualan Riil pada April mencatat kontraksi secara tahunan sebesar -2,7 persen di hampir semua kelompok barang. Kontraksi tahunan itu memperlihatkan penjualan ritel pada musim Lebaran 2024 tidaklah setinggi musim Lebaran tahun lalu.

Kajian yang dilakukan oleh Mandiri Group Research pada Mei 2024 mencatat, konsumsi masyarakat setelah Idul Fitri (Lebaran) berangsur normal sesuai pola historis. Namun, nilai belanja per kapita pasca Idul Fitri yang tetap tinggi dibanding tahun lalu, dengan kenaikan 1,3 persen year-on-year, ditengarai lebih karena kenaikan harga-harga barang.

Usai Lebaran 2023, konsumen cenderung berbelanja dengan nilai lebih besar di kala kunjungan belanja turun. Sebaliknya, setelah Lebaran 2024 usai, konsumen berbelanja lebih sering tapi dengan nilai belanja lebih sedikit.

Konsumen juga banyak beralih ke barang atau jasa dengan harga lebih murah untuk mengakali lonjakan harga supaya belanja masih sesuai kemampuan keuangan (on budget). Untuk belanja dengan nilai transaksi kurang dari Rp1 juta, tercatat turun 3 persen dibanding tahun lalu. Namun, kunjungan belanja (shopping visit) naik 3,9 persen di mayoritas kategori.

Adapun pembelanjaan dengan nilai di atas Rp 5 juta, memperlihatkan penurunan baik dari nilai transaksi maupun kunjungan. “Itu menunjukkan belanja produk berharga mahal seperti perlengkapan rumah atau elektronik, menurun,” kata Bank Mandiri.

Kelas menengah semakin memperlihatkan tekanan konsumsi. Setelah Idul Fitri, nilai belanja kelompok ini turun dibanding 2023 meski kunjungan belanja naik 3 persen. “Belanja rumah tangga pada kuartal dua ini secara umum masih tertekan akibat berbagai faktor negatif mulai dari inflasi harga pangan, juga depresiasi rupiah pada kuartal pertama 2024. Yang perlu diantisipasi adalah semakin turunnya nilai tabungan kelas menengah,” demikian ditulis oleh riset Bank Mandiri. 

Bank Indonesia memulai rangkaian dua hari Rapat Dewan Gubernur yang akan menentukan kebijakan bunga acuan (policy rate) bulan Juni. Konsensus ekonom yang dilansir oleh Bloomberg menghasilkan median 6,25 persen. Itu berarti, pasar masih memperkirakan BI rate ditahan di angka saat ini. 

Pelemahan rupiah yang sempat menyentuh Rp 16.412 per dolar Amerika Serikat (AS) pekan lalu, bahkan bisa mengerek ekspektasi kenaikan BI rate lagi tahun ini. Terutama bila rupiah terus melemah menuju Rp 16.700 per dolar AS. Konsumsi masyarakat yang melemah sejatinya membutuhkan stimulus agar kembali bangkit. Pelonggaran moneter melalui penurunan bunga acuan dapat menjadi salah satu jurus, selain mengandalkan stimulus fiskal.

Namun, harapan penurunan bunga acuan BI semakin sulit dengan situasi rupiah yang masih menghadapi risiko pelemahan dan sewaktu-waktu bisa kembali turun ke rekor terlemah baru, dapat memicu efek domino lebih buruk pada perekonomian secara luas. Alhasil, harapan lebih banyak pada stimulus fiskal demi mendongkrak konsumsi masyarakat supaya tetap bertahan, syukur-syukur mampu bangkit lagi.

Indeks Keyakinan Konsumen yang turun pada Mei baik secara bulanan maupun tahunan, terutama karena pelemahan ekspektasi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja di semua kelompok ekonomi, seharusnya menjadi alarm terkait mendesaknya kebijakan mendorong kepercayaan diri masyarakat agar tetap mau berbelanja dan memiliki daya beli. (*)