KUMPARAN— Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menunjukkan pasar otomotif nasional stagnan di angka satu jutaan unit setiap tahun selama satu dekade. Kecuali pada 2020 dan 2021, market anjlok berturut-turut 500 ribu dan 800 ribuan unit sebagai dampak dari melemahnya perekonomian akibat pandemi.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengatakan, harus ada dukungan dari pemerintah agar pasar otomotif Indonesia keluar dari stagnansi. “Salah satunya harus ada relaksasi pajak. Banyak yang bilang dengan relaksasi negara terima apa, pengalaman kita setelah Covid dengan relaksasi pajak volume naik, square income pemerintah nggak turun,” katanya di Jakarta belum lama ini. “Itu yang kami minta evaluasi, justru dengan relaksasi ekonomi tumbuh, income pemerintah terjaga karena volume,” tambahnya.
Harapannya dengan relaksasi pajak yang menstimulus pembelian, permintaan meningkat dan produksi bisa ditingkatka. Sehingga lebih mampu menggerakkan ekonomi nasional. Terlebih pemerintah tengah mendorong laju kinerja industri otomtoif, sebagai salah satu sektor prioritas dalam pengembangan sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0.
Secara kinerja bila berkaca pada tahun lalu, di mana capaiannya mendekati normal sebelum pandemi, produksi otomotif roda empat dan lebih mencapai 1,4 jutaan unit, sekitar 1,040 juta guna memenuhi kebutuhan domestik, sisanya ekspor. Kendati demikian torehan tersebut masih kalah dari Thailand, yang bisa mencetak produksi kendaraan tertinggi di Asia Tenggara mencapai 1,8 juta unit, sekitar satu juta hasil produksi untuk ekspor.
“Secara domestik kita sudah leading dari Thailand, tinggal produksinya, di sana 1,8 juta unit beda 400 ribu unit. Di sini pajaknya dua kali lipat dibanding Thailand,” kata Bob.
Maka dari itu dirinya mengusulkan beberapa skema relaksasi pajak. Misalnya penghapusan bea balik nama dan pajak barang mewah yang dilakukan negara tetangga. “Supaya industri kita bisa memimpin pasar, sekaligus memengaruhi investasi ke depan. Kalau produksi nomor dua terus, mungkin investor larinya bukan ke Indonesia. Penting take over produksi, tak hanya domestic market,” katanya. (*)