INEWS— Infrastruktur merupakan faktor penting dalam percepatan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia. Fasilitas isi ulang baterai (charging station) berfungsi mempermudah masyarakat dalam beraktivitas saat menggunakan mobil listrik. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mengakui infrastruktur mobil listrik di Indonesia masih terbatas sekalipun pemerintah gencar mempromosikan penggunaan kendaraan listrik melalui sederet kebijakan.
Kebijakan seperti pemberian insentif membuat harga mobil listrik semakin terjangkau sehngga mendorong masyarakat menggunakan kendaraan listrik. Ini dibuktikan peningkatan penjualan kendaraan ramah lingkungan tersebut sepanjang tahun ini.
Sekretaris Umum GAIKINDO Kukuh Kumara mengatakan infrastruktur kendaraan listrik memang menjadi penghambat. Sebab itu, GAIKINDO menyarankan solusi multi-pathway, untuk mememberi masyarakat Indonesia memilih mobilitas ramah lingkungan, bukan hanya mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle, BEV).
“Multi-pathway artinya biarkan masyarakat memilih. Kalau tujuannya adalah ramah lingkungan, ada alternatif lainnya, seperti bioethanol, bio diesel dan bahan bakar alternatif lain yang lebih ramah lingkungan,” kata Kukuh dalam forum “Dialog Industri Otomotif Nasional” Indonesia Center of Mobility Studies (ICMS) di Gedung Indonesia Convention Exhibition (ICE), Bumi Serpong Damai (BSD), Kabupaten Tangerang (Banten). Diskusi tersebut digelar pasa Rabu 24 Juli 2024, di sela pameran otomotif GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024.
Salah satu infrastruktur yang perlu dikejar pemerintah adalah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Ini sangat penting bagi pengguna kendaraan listrik, terutama bagi yang melakukan perjalanan jarak jauh. “Ini yang dikejar selalu industri otomotif, padahal industri otomotif ini selalu siap. Begitu industrii sudah siap, ternyata infrastrukturnya tak siap. EV misalnya, kendala dan tantangannya semua tahu masih persoalan seputar infrastruktur,” kata Kukuh.
Kukuh mengakui menerapkan strategi multi-pathway untuk kendaraan ramah lingkungan dengan emisi karbon lebih sedikit juga tetap memiliki tantangan. Menurutnya, ini terletak pada keseriusan pemerintah dalam memperbaiki kualitas udara. “Tantangannya ternyata ada di ketersediaan bahan baku etanol seperti tebu. Di sini pabrik tebunya sudah tua. Kalau ada, bukan diremajakan, malah jadi museum,” katanya.
“Kita juga impor puluhan juta ton gula, ada ketakutan kalau tebunya dipakai untuk bio etanol, untuk gula bagaimana? Kan harusnya berjalan beriringan. Artinya tantangannya tidak hanya di EV, di energi alternatif lainnya juga punya tantangannya,” kata Kukuh. (*)