JAKARTA— Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap faktor dominan yang menjadi penyebab kecelakaan lalu-lintas jalan. Kecelakaan lalu-lintas jalan tak jarang menjadi penyebab kematian, cedera, dan kecacatan yang dominan di seluruh dunia.
“Berdasarkan hasil investigasi yang kerap kali dilakukan menunjukkan bahwa penyebab terjadinya kecelakaan didominasi oleh faktor geometrik jalan,” kata Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono dalam media rilis ‘Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang Disebabkan Faktor Geometrik Jalan’ yang disiarkan secara daring, beberapa saat lalu seperti dikutip Republika.
Saat ini, kurang lebih sebanyak 1,3 juta orang meninggal dunia. Lalu sekitar 20 hingga 50 juta orang terluka akibat kecelakaan jalan tiap tahun. Soerjanto mengatakan, sebagian besar jalan di Indonesia bukan jalan yang sengaja dibangun. “Ini melainkan jalan peninggalan zaman Belanda— (yang semula hanya berupa) jalan ‘tikus’, jalan setapak, dan jalan lingkungan yang kemudian dilebarkan dan diperkeras sehingga tampak menjadi bagus,” kata Soerjanto.
Jalan tersebut terbangun tanpa melalui kaidah keselamatan infrastruktur jalan yang baik. Infrastruktur jalan yang baik terdiri atas audit keselamatan jalan, inspeksi keselamatan jalan, analisa dampak keselamatan jalan, manajemen daerah rawan kecelakaan, serta laik fungsi jalan. “Sangat mungkin jalan tersebut menyimpan banyak hazard-yang bisa kapan saja menyebabkan orang celaka,” kata Soerjanto.
Dia menjelaskan, studi kasus pertama dilakukan pada elemen penampang jalan melintang yang terjadi di ruas jalan antara Solo (Jawa Tengah) dengan Ngawi (Jawa Timur). Kecelakaan diawali dengan konvoi antara sepeda motor membawa muatan barang, bus Safari Dharma Raya, bus Mira, bus Sumber Selamat, dan Toyota Innova dari arah Solo menuju Ngawi.
“Pada saat bus Mira mencoba mendahului sepeda motor dari arah berlawanan ada Bus Eka, sehingga terjadi tabrakan beruntun yang melibatkan tiga bus dan satu mobil penumpang,” kata Soerjanto.
Lokasinya berupa jalan arteri primer kelas dua dengan lebar tujuh meter 2/2 UD, bahu jalan 1,5 meter, dan kondisi jalan lurus. Soerjanto menegaskan, hazard pada kasus tersebut yaitu adanya desain kecepatan tinggi, mixed traffic (gap kecepatan), tabrak depan dan tabrak belakang. KNKT merekomendasikan perlu dilakukan survei inspeksi keselamatan jalan dan segregasi lalu lintas dengan kecepatan yang berbeda. Selain itu juga manajemen traffic calming.
Studi kasus kedua yaitu pada elemen alinyemen horizontal di ‘Tikungan Harmoko’ Musi Banyuasin (Sumatra Selatan). Soerjanto mengatakan, di lokasi tersebut kerap kali terjadi secara berulang kecelakaan tunggal kendaraan terguling atau menabrak tebing. “Hazard tersebut sudah ada sejak Pak Harmoko masih menjabat sebagai Menteri Penerangan,” kata Soerjanto.
Pada lokasi tersebut berupa jalan arteri primer kelas dua dengan lebar enam meter 2/2 UD, bahu jalan satu meter, dan kondisi jalan berkelok. Kecelakaan tersebut menimpa sebuah bus antar kota dan antar provinsi (AKAP) yang menewaskan empat korban jiwa. “Identifikasi hazard pada kasus kecelakaan tersebut menemukan adanya tikungan patah setelah jalan lurus, kemudian tikungan ganda searah, dan minimnya informasi delineasi jalan,” kata Soerjanto.
KNKT merekomendasikan adanya perbaikan informasi delineasi jalan. Begitu juga dengan pradesain perbaikan geometrik tikungan dan perbaikan geometrik tikungan.
Pada studi kasus ketiga yaitu pada alinyemen vertikal pada Tebing Breksi, Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY). Soerjanto mengatakan terdapat perbedaan tinggi 191 meter dengan gradien maksimal 35 persen sejauh 1,81 kilometer. Sebuah mobil bermesin diesel jenis angkutan massal memiliki torsi dengan gradeability 25 persen. Pada saat mobil dipaksa naik tanjakan, mesin mengalami overheat dan v-belt putus.
Lalu pengemudi dan pemilik kendaraan tak memahami sistem rem. Pengemudi tetap melanjutkan perjalanan turun ke bawah, sehingga terjadi rem blong dan mengakibatkan enam orang meninggal dunia. Soerjanto mengatakan, hazard yang ditemukan yaitu adanya turunan panjang ekstrem, jalan beton, dan drainase beton. Selain itu juga minimnya informasi delineasi jalan.
“Rekomendasi yang harus ditindaklanjuti di antaranya perbaikan informasi delineasi jalan, penyediaan forgiving road, dan pemberian edukasi terkait delineasi jalan,” kata Soerjanto. (Foto: MNC-inews)