JAKARTA— Industri permesinan ambil peran penting di dalam negeri. Mereka menjadi penyedia barang modal, untuk mendukung sebagian besar proses produksi di sektor manufaktur. Umpamanya, pembuatan tools (mold, dies, jig dan fixtures) merupakan bagian product engineering. Jadi bidang ini perlu tingkat pengetahuan dan keahlian tinggi untuk meningkatkan value of chain sebuah proses produksi dari aspek teknologi.
Pengguna terbesar dari hasil produksi industri pembuatan tools adalah sektor otomotif sebesar 41 persen hingga 64 persen. Kemudian menyusul elektronika, serta peralatan lain mencapai 8 persen sampai 30 persen.
Sebagai gambaran, pasar industri pembuatan tools yang masih menjanjikan. Contohnya satu model mobil memerlukan lebih dari 3.000 jenis cetakan (mold & dies). Bisa dipakai sekitar 8 hingga 15 tahun berdasarkan siklus model. Sedangkan untuk facelift diperlukan sekitar 35 jenis cetakan, yang diperkirakan dibutuhkan dalam kurun dua tahun sekali.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, sepanjang 2018, ekspor mold dari Indonesia menembus angka 32,8 juta dolar Amerika Serikat (AS). Ekspor dies sebesar 52,3 juta dolar AS serta ekspor jig dan fixture menyentuh 7,9 juta dolar AS. Pemerintah mengaku, memprioritaskan pengembangan industri pembuatan tools sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri (RIPIN) 2015-2035 yang lalu dijabarkan dalam Kebijakan Industri Nasional 2020-2024.
“Apalagi negara-negara Asean menjadi basis industri otomotif skala global. Ini menjadi tantangan bagi kita untuk terus memacu daya saing industri nasional,” ujar Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Harjanto di Jakarta 30 Oktober 2019 seperti dikutip Oto.com.
Investasi
Bidang industri manufaktur di Indonesia, kata Harjanto, masih tumbuh dan berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya upaya ekspansi dari sejumlah perusahaan dan masuknya beberapa investasi baru.
Contohnya pada sektor industri logam, mesin, alat transportasi dan kawannya. Hingga kuartal kedua 2019, dana segar yang masuk sektor ini mencapai Rp 22,2 Triliun. Industri logam dasar memberikan kontribusi terbesar hingga Rp 13,4 triliun. Kemudian industri kendaraan bermotor sebesar Rp 4,71 triliun.
“Guna menggenjot daya saing industri kita, tentunya diperlukan banyak dukungan. Seperti ketersediaan bahan baku, sumberdaya manusia kompeten, suplai energi yang cukup, serta penggunaan teknologi dan permesinan dalam proses produksi,” katanya.
Inovasi dan perubahan terhadap model bisnis yang lebih efisien dan efektif, dinilai mempercepat peningkatan daya saing industri dalam negeri. Inovasi-inovasi penerapan Information Communication Technology (ICT) perlu digenjot. Mislanya, memanfaatkan sistem online untuk mengontrol penyelesaian pekerjaan. Langkah tersebut diharapkan bisa memberikan penghematan dalam penggunaan waktu dan biaya. Sehingga produk yang dihasilkan lebih murah dan mampu bersaing di pasar domestik maupun global. (Foto: PosKota)