BLOOMBERG— Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mengatakan rata-rata mesin mobil yang beredar di Indonesia saat ini baru bisa menerima bahan bakar minyak (BBM) bioetanol 10 persen. Sekretaris Umum GAIKINDO Kukuh Kumara mengatakan penyesuaian terhadap mesin pada mobil-mobil di Indonesia memang harus dilakukan bila pemerintah pada akhirnya memutuskan menaikkan bauran bioetanol hingga 20 persen pada 2025.
GAIKINDO menyatakan siap untuk melakukan penyesuaian tersebut karena teknologi yang dibutuhkan telah tersedia. Bahkan, mobil di Indonesia bisa menerima bauran bioetanol hingga 85 persen, walaupun harus dilakukan secara bertahap. “Industri otomotif siap bahkan sebetulnya industri otomotif bisa sampai 85 persen, tentu bertahap ya, tak bisa mendadak. Saat ini hingga 10 persen masih oke, tetapi perlu waktu untuk sampai ke sana,” kata Kukuh Kamis 2 Mei 2024.
Kukuh tak menampik bahan bakar bioetanol memang memiliki sifat korosif karena memiliki kandungan air. Namun hal tersebut bisa diatasi dengan beberapa penyesuaian yang bakal dilakukan oleh sektor otomotif bila bioetanol pada akhirnya digunakan secara massal di dalam negeri. “Bisa [ditangani dengan penyesuaian]. Sudah tahu kita karena teknologi sudah tersedia,” katanya.
Ia mengklaim industri otomotif di Indonesia tidak memiliki kendala berarti dari penggunaan BBM bioetanol. Selain itu, penggunaan BBM bioetanol juga dianggap tidak memengaruhi penjualan mobil di Indonesia. Namun, pemerintah tentu perlu menjamin keberlanjutan dari BBM bioetanol tersebut. “Jangan sampai mesinnya siap, tapi bahan bakarnya tak ada. Kuncinya di situ,” kata Kukuh.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) baru-baru ini mengonfirmasi pemerintah bakal menambah bauran bioetanol hingga 20 persen pada 2025. Peningkatan bauran bioetanol dilakukan sebagai upaya persiapan untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan pengganti Pertalite dan Pertamax.
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan rencana tersebut mengacu kepada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 12/2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. “Mengacu ke Permen ESDM No. 12/2015, tahapan minimal kewajiban pemanfaatan bioetanol diatur 5 persen pada 2020 dan naik 20 persen pada 2025,” kata Saleh.
Di sisi lain, Pertamina juga sudah mengonfirmasi keterlibatannya di Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan; sesuai dengan mandat Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/2024. CEO PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) John Anis mengatakan perseroan bakal berperan dalam menyediakan etanol yang merupakan bahan baku dari bahan bakar bioetanol, yakni Pertamax Green.
Namun, John mengatakan, perseroan masih belum memastikan tingkat research octane number (RON) dari Pertamax Green yang diproduksi dari sumber daya di Merauke, yang pada akhirnya bakal digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) Pertalite atau Pertamax.
“Pemerintah mengharapkan ada bauran dengan etanol, etanol akan disuplai dari kami. Masih kita lihat [RON 95 atau 92] mana yang paling baik. Namun, yang jelas nanti akan dicampur, kita juga masih mikir, 10 persen, 15 persen atau 20 persen? Masih kita diskusikan,” ujar John. (*)