JPNN— Beda perlakuan oleh pemerintah terkait insentif terhadap mobil listrik (battery electric vehicle, BEV) dengan mobil hybrid, mendorong Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) kembali mengajukan usulan. GAIKINDO meminta pemerintah agar juga memberikan insentif untuk mobil hybrid meski jumlahnya lebih kecil dari yang diterima mobil listrik.
“Insentifnya (mobil hybrid) tak perlu sama seperti mobil listrik, dibedakan saja. Mobil listrik diberi subsidi PPnBM 10 persen, dan hanya bayar satu persen. Untuk hybrid tak harus sebesar itu, separonya misalnya, hybrid cukup lima persen,” kata Ketua I GAIKINDO Jongkie Sugiarto kepada Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, Kamis 4 Juli 2024.
Saat ini mobil hybrid dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) 6-12 persen. Sedangkan mobil listrik mendapatkan beragam fasilitas, mulai dari PPnBM nol persen hingga pajak pertambahan nilai (PPN) yang ditanggung pemerintah (DTP). Fasilitas PPN DTP diberikan pemerintah kepada mobil listrik dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal sebesar 40 persen. Adapun besaran PPN DTP yang diberikan sebesar 10 persen. Dengan fasilitas tersebut, PPN yang dikenakan atas penyerahan mobil listrik dengan TKDN minimal 40 persen ialah sebesar satu persen. Fasilitas PPN DTP diberikan untuk masa pajak Januari hingga Desember 2024.
“Atau setidaknya (mobil hybrid) boleh bebas melintas area ganjil genap. Itujuga sudah merupakan insentif, jadi industri mobil hybrid ini bisa berkembang,” kata Jongkie.
Meski menggunakan separo tenaga bensin dan listrik, mobil hybrid sebenarnya lebih efektif untuk digunakan sebagai kendaraan harian masyarakat dengan kondisi saat ini. Bersamaan itu juga tetap memberikan dampak pada pengurangan emisi karbon, mengingat penggunaan BBM mobil hybrid yang minim.
“Mobil hybrid jelas sudah mengurangi pemakaian bahan bakar, menurunkan polusi, dan tidak memerlukan infrastruktur berupa charging station; membantu percepatan yang Indonesia sudah tandatangani di Paris Agreement; membantu juga subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang Rp 500 triliun itu, dengan pemakaian BBM-nya menurun dari penggunaan hybrid, kan ini menguntungkan untuk pemerintah,” kata Jongkie. (*)